Bagi kebanyakan orang, pertanyaan “Apa itu foto?” mungkin dianggap sepele dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Bahkan ketika diajukan kepada para peminat fotografi, jawaban yang biasanya mengemuka adalah definisi yang diberikan oleh kamus, yaitu gambar yang dihasilkan dengan menangkap cahaya pada medium yang telah dilapisi bahan kimia peka cahaya atau sensor digital (kombinasi dari photo yang berarti cahaya, dan graph yang berarti catatan, tulisan, atau lukisan). Tidak banyak yang sadar bahwa di balik kesederhanaan artefak yang benama foto tersimpan kerumitan yang membuat definisi foto tidak sesederhana yang dibayangkan. Foto memiliki berbagai macam ukuran yang bisa kita cetak bahkan kita bisa
cetak foto ukuran dompet
Pada level wujud, foto memang sebuah gambar, sebuah penyerupaan yang dihasilkan lewat proses yang dinamakan fotografi. Namun pada definisi paling dasar ini pun, tersimpan persoalan. Ada banyak jenis gambar yang dapat digolongkan sebagai foto. Pada abad ke-19, ada daguerrotype, heliotype, cetak albumen, cetak gelatin perak, photogravure, dan lukisan fotogenik. Di abad ke-20, ada polaroid, pindai elektronik (electronic scanner), foto digital, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan wujud seperti itu mengingatkan kepada kita akan kerumitan yang inheren pada sifat foto itu sendiri: Definisi foto sebagai objek selalu terkait dengan (dan bergantung pada) konteks sejarah, konteks sosial, konteks budaya, dan konteks teknologi. Dengan kata lain, konteks-konteks itulah yang sebenarnya menjadi salah satu penentu definisi, makna, dan nilai foto.
Kerumitan definisi foto tidak hanya terjadi pada level wujud. Secara fungsional, definisi, makna, dan nilai foto terus mengalami perubahan sejalan dengan transformasi dan metamorfosis wujudnya. Dari segi warna, foto hitam putih dan foto warna adalah dua hal yang berbeda. Dari segi ukuran dan bentuk, foto besar dan foto kecil, foto persegi dan foto persegi panjang atau bulat juga berbeda. Kualitas pencetakan (mengilat atau dof, dicetak di atas kertas tipis atau tebal), media yang digunakan (analog atau digital), cara penyimpanan dan penyajian (dalam dompet, album, bingkai, atau media penyimpanan dan penyajian digital), dan tujuan penggunaan (untuk kartu tanda pengenal diri, koran, majalah, atau pameran di galeri) juga mengubah dan memengaruhi pemahaman kita terhadap nilai dan status foto sebagai objek. Foto KTP yang berfungsi sebagai penanda jatidiri, misalnya, boleh jadi berubah status dan mendapat tanggapan yang berbeda jika dipajang di galeri dan dinyatakan sebagai spesimen praktik fotografi yang khas.
Kerumitan definisi foto tidak hanya melibatkan wujud an fungsinya, namun juga pada genre-genre yang dilabelkan kepadanya. Pengategorian foto ke dalam genre-genre yang berbeda merupakan upaya mengodifikasi referensi dan status foto dengan menggunakan asumsi-asumsi yang dikonstruksi. Label genre foto seni, misalnya, melibatkan asumsi-asumsi yang berbeda dengan asumsi-asumsi yang disandang oleh foto dokumentasi. Akibat pengategorian dan konstruksi asumsi-asumsi yang dipakai untuk pengategorian itu, foto yang fungsional – misalnya, foto dokumentasi – seringkali dianggap kurang bernilai dibandingkan dengan foto yang kurang atau tidak fungsional, seperti foto seni.
Proses pengategorian foto dengan menggunakan asumsi-asumsi yang dikonstruksi ini telah terjadi sejak masa-masa awal perkembangan fotografi. The Photographic Society, yang didirikan di London pada tahun 1853 dan kemudian berubah nama menjadi The Royal Photographic Society, misalnya, didirikan dengan tujuan untuk menjadikan praktik fotografi sebagai bagian dari tradisi akademik seni rupa. Karena ketiadaan referensi yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk menyusun hirarki dan melakukan pengategorian genre foto pada waktu itu, maka dipakailah asumsi-asumsi dari sumber seni visual terdekat, yaitu seni lukis. Akibatnya, praktik fotografi terus dibayang-bayangi oleh “hantu seni lukis”: Fotografi sebagai cabang seni tidak memiliki tradisi akademik yang mandiri. Keberadaannya sebagai salah satu cabang praktik seni selalu dikaitkan dengan (dan didasarkan pada) tradisi akademik seni lukis. Oleh karena itu, kita tidak perlu heran bila praktik, apresiasi, dan kritik fotografi hingga saat ini masih terus menggunakan paradigma-paradigma seni lukis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar